Headline News

Rabu, 31 Juli 2013

Selamanya Cinta

Cewek akan bingung menghadapi cowok yang sangat akrab dengan dia, tapi juga akrab sama yang lain. Begitulah cewek. Kalau betul seorang cowok mencintainya, cewek selalu menuntut perhatian yang lebih dari yang lain.

Kalau ingat kejadian di kantin 2 minggu yang lalu, Saras akan terus menyimpan amarah kepada dua orang sahabatnya, Ining dan Mamas. Kalau saja Ining ngga keceplosan ngomong, rahasia hatinya tidak akan diketahui orang lain. Kalau saja Mamas tidak menyebutkan namanya, tentu orang lain tidak akan tahu. Dan yang paling membuat Saras marah, pemilik nama yang ada dalam hatinya turut serta mendengarkannya. Sungguh Saras nggak akan pernah lupa peristiwa itu.

Jam Istirahat, Saras diajak Ining dan Mamas ke kantin. Saras sebetulnya ngga minat, tapi mereka terus memaksa. Daripada benjol, Saras akhirnya mengikuti juga langkah kaki Ining dan Mamas menuju kantin.

Sampai di kantin, Saras ikut-ikutan memesan juice melon, minuman favorit mereka bertiga. Ternyata ia merasa haus juga. Tegukan pertama mulus melewati kerongkongan Saras. Tapi, tegukan yang kedua tidaklah semulus yang pertama, karena ada suara yang tiba-tiba menghentikannya. Suara yang kerap membuat Saras merasa rindu. Suara Fatur. Si Mafia, begitu Saras menyebutnya.

"Bagi dong minumnya!" tegur suara itu.

Ining langsung menjawab. "Boleh-boleh aja. Tapi, minum kami sudah habis. Tinggal punya Saras tuh yang belum. Ras, Fatur minta minum kamu tuh!" kerling Ining menggoda.

Serba salah. Ngga dikasih, takut dibilang sombong. Dikasih, pasti dua bocah sableng itu akan terus menggoda.

"Hey, kok malah bengong! Tuh, Fatur nunggu!" Mamas gemes ngeliat Saras diam aja.

"Eh, iya. Boleh kok. Asal mau segelas berdua." jawab Saras cepat menutupi kegugupannya dengan menyodorkan gelas yang dipegangnya kepada Fatur. Dipandangnya Mamas dan Ining dengan kesal. Yang dipandang hanya tersenyum kuda.

"Makasih. Kamu baik banget. Tapi, nanti kamu ngga puas minumnya. Fatur mesan di dalam aja. Yuk!" Fatur menolak dengan halus sambil beranjak mengambil tempat di pojok kantin.

"Ras, loe kok, dingin gitu sih?" Mamas heran. "Rugi loh, kesempatan ngobrol disia-siain!"

"Tahu nih, Saras! Eh, dia makin manis aja, loh!" Ining ikut-ikutan.

Saras cuma bisa diam. Padahal dalam hatinya ia pengen banget bisa ngobrol lama dengan Fatur. Tapi, Saras malu.

"Hei, Saras? Ngelamun aja, lagi mikirin Andri ya?" tegur Andri mengagetkan Saras.

"Ah, kamu lagi! Kapan sih kamu mau berhenti mengganggu Saras?" ucap Saras kesal.

"Sampai kamu mau jadi pacar Andri. Suer deh, Andri nggak lagi ganggu. Tapi, kamu mau kan jadi cewek Andri?" tanya Andri cuek tanpa mempedulikan kekesalan hati Saras yang sudah mangkel bin gondok ngeliat kelakuannya.

"Hey, Andri. Denger, Saras udah bilang dari dulu kalo dia ngga suka kamu! Kenapa maksa sih? Lagian, dia udah suka dengan orang lain di sekolah ini!" Ining kesal melihat tingkah Andri yang suka memaksakan kehendak.

"Oh, ya?" taut Andri heran. Selama ini yang ia tahu Saras nggak pernah akrab dengan cowok. "Siapa?" lanjutnya.

"Fatur. Anak Fis-Lima!" ceplos Mamas.

Deg. Saras kaget. Mukanya memerah karena malu. Ia nggak menyangka mereka akan bicara seperti itu. Dipandangnya Ining dan Mamas penuh amarah.

"Ining! Mamas! Apa-apaan sih, kalian? Bikin malu!" geram Saras menahan tangis. Cepat ditinggalkannya mereka. Sekilas dilihatnya tatapan mata Fatur menghunjam ke arahnya. Saras nggak peduli seperti dia nggak mempedulikan panggilan Ining dan Mamas. Dalam hatinya Saras berjanji nggak mau lagi berbicara dengan ke-dua sahabatnya itu.

Sejak peristiwa itu, Saras terus menghindari pertemuan dengan Ining, Mamas, Andri, dan juga Fatur. Saras nggak lagi pulang bareng dengan Ining dan Mamas. Biasanya mereka selalu bersama-sama. Kali ini, Saras akan menunggu mereka pulang lebih dulu, baru ia pulang.

Baru saja langkah kaki Saras melewati gerbang sekolah, bahunya ditepuk oleh seseorang. Ditolehnya, ternyata Fatur. Saras kaget bin bingung. Justru sekarang ia sedang menghindar dari Fatur, tapi sekarang?

"Ras, kok baru pulang?" tanya Fatur. "Ining dan Mamas mana?" lanjutnya lagi karena melihat Saras sendirian.

"Mm, Saras ikut ulangan susulan, jadi baru pulang. Ining dan Mamas sudah duluan. Kamu sendiri kenapa baru pulang?" Saras bersyukur ia bisa dengan cepat menghilangkan rasa gugup tadi.

Fatur tersenyum manis. Aduh, mak, senyumnya ... nggak ku-ku ... at!

"Fatur ada urusan sama Bu Trisna. Biasa, karya tulis."

"Loh, memangnya belum selesai?"

"Belum. Saras, sudah?"

"Mmh," angguk Saras. "Baru dua hari yang lalu."

"Eh, Saras pulangnya lewat mana? Lewat Pilot? Bareng yuk, Fatur juga lewat situ." Ajakan Fatur bikin genderang di dada Saras semakin kencang berbunyi.

"Tumben, biasanya juga lewat Miya."

"Oh, jadi nggak mau bareng nih? Ya udah," Fatur menggerutu.

"Eh, bukannya gitu. Orang cuma ngomong apa adanya kok, jadi ceritanya tersinggung nih?" goda Saras.

"Lagian nanyanya kaya gitu. Emangnya Fatur nggak boleh lewat Pilot? Denger, suka-suka Fatur dong, mau pulang lewat jalan mana. Kaki kaki Fatur ini, bukan kaki kamu!" Fatur masih aja merengut.

"Idiih, kaya anak kecil aja ngerengut, jelek ah! Udah yuk, Tur, pulang. Saras cape nih!" Ditinggalkannya Fatur yang masih merengut kaya marmut. Saras nggak kuat melihat rengutannya Fatur.

"Ras, tunggu! Cepet-cepet banget!" Fatur menyejajari langkah Saras. "Ras, Fatur boleh nanya nggak?"

"Tanya aja."

"Selain Ining dan Mamas, teman dekat kamu siapa lagi? Apa Andri termasuk teman dekat kamu juga?"

"Andri? Dia bukan teman dekat Saras. Dianya aja yang konyol, suka dekat-dekat Saras. Emangnya kenapa, sih? Aneh deh, pertanyaan kamu," taut Saras heran. Ada apa sih, kok Fatur bisa nanya seperti itu.

"Kalau Fatur, teman dekat kamu bukan?"

"Ih, Fatur! Aneh-aneh aja deh. Kamu ngerasanya gimana?" Saras balik nanya.

"Ye, ditanya malah nanya, gimana sih?" Fatur kesal. Orang nanya serius, dijawabnya main-main.

"Kok jadi marah? Jawab dulu pertanyaan Saras. Dari tadi kamu terus yang nanya."

"Iya deh. Denger ya, Fatur tu nggak tahu kenapa ngerasa dekat sama kamu. Habis, kamu anaknya enak di ajak ngomong. Ngebicarain apa aja nyambung. Udah gitu, kamu kesukaannya kaya Fatur. Suka ngocol, konyol, santai dan lagi kita sama-sama suka penyanyi macamnya Roxette, Andi Liany sampai Iwan Fals," jelas Fatur panjang lebar yang bikin hati Saras sedikit berkembang.

"Masa sih, kamu nganggap Saras dekat dengan kamu. Saras jadi heran. Kalau dekat, kenapa di sekolah kamu selalu cuek kalo ketemu Saras?" Saras masih nggak percaya dengan apa yang Fatur katakan.

"Loh, bukannya kamu yang cuek kalo ketemu Fatur?"

"Siapa yang cuek."

"Udah, deh, sekarang balik ke pertanyaan, kamu merasa dekat nggak sama Fatur?"

"Gimana ya, kalo kamu aja merasa dekat kenapa Saras nggak? Iya deh, Saras merasa."

"Kesannya dipaksain!"

"Nggak! Suer?"

"Kalo gitu, cerita kenapa kamu marah dan terus menghindari Ining dan Mamas!" 

Kata-kata Fatur bikin Saras kaget. Kalo cuma mau nanya itu kenapa pake berbelit-belit sih, nanya teman dekat segala. Dasar Mafia! Satu hal dari Fatur yang bikin Saras kesal, suka berbelit-belit!

"Fatur, kata siapa Saras marah dengan Ining dan Mamas, pake acara menghindar segala. Siapa?" tanya Saras ketus.

Fatur jadi nggak enak hati mendengarnya. Sebetulnya dia paling nggak suka menyampuri urusan orang lain. Tapi Ining dan Mamas meminta ia untuk menyelesaikan masalah ini, yang katanya ada hubungannya sama dia. Sebetulnya juga sih, Fatur mau sekalian menyelesaikan masalahnya sendiri yang tentu berhubungan dengan Saras. Sudah lama ia suka dengan Saras. Untuk mengutarakannya, Fatur ragu. Takut bertepuk sebelah tangan, karena melihat sikap Saras yang dingin dan biasa-biasa saja. Tapi setelah peristiwa di kantin tempo hari, ia jadi mengurungkan niatnya untuk memendam bias cinta yang hadir dalam hatinya. Apalagi Ining dan Mamas bilang kalau Saras sebetulnya ada feeling terhadapnya. Kalau ternyata benar, wow ...

"Maaf Ras, bukan maksud Fatur bikin kamu tersinggung. Jangan salahin Ining dan Mamas, kalo mereka bicara hal ini sama Fatur, yang termasuk dekat sama kamu. Ras, mereka cuma ingin meminta maaf, tapi katanya kamu nggak pernah memberi kesempatan. Seberapa besar sih, kesalahan mereka yang buat kamu sulit untuk memaafkannya?" ujar Fatur hati-hati.

"Hh ...," Saras menghela nafas. "Seberapa besar?" tanyanya pada diri sendiri. "Nggak tahu, Saras nggak tahu. Mereka udah merusak kepercayaan yang Saras berikan dan itu nggak bisa Saras terima." gumam Saras. Pandangannya nanar jauh ke depan.

"Kepercayaan, kepercayaan bagaimana?" tanya Fatur nggak mengerti.

"Saras udah memberikan kepercayaan untuk merahasiakan isi hati Saras. Dan mereka dengan mudah membukanya." tutur Saras tak sadar, apa yang diucapkannya merupakan jawaban yang sedang dicari Fatur.

Kalau begitu, benar apa yang dikatakan Ining dan Mamas! pikir Fatur.

"Ras, kamu marah dengan mereka karena mereka bilang kalo kamu suka Fatur, iya?" tebak Fatur telak.

"Siapa bilang? Becanda kamu! Kalo Saras nggak suka kenapa dijadiin teman?" ujar Saras riang menutupi rasa terkejutnya.

"Teman. Kamu suka Fatur cuma sebagai teman? Masa iya, sih?" goda Fatur senang ngeliat paras wajah Saras yang tiba-tiba memerah. Hatinya yakin kini, kalau ia tak bertepuk sebelah tangan.

"Saras yang manis, Fatur suka kamu. Sayang kamu. Sejak dulu, dari kelas satu. Masa sih, kamu nggak ngeliat dari sikap dan perhatian Fatur selama ini? Kamu nggak ngerasain?" bisiknya lembut.

"Kamu ...," Saras nggak percaya dengan apa yang didengarnya. "Maaf Tur, Saras nggak melihatnya. Saras takut untuk mengartikan perhatian kamu yang manis selama ini, sebagai ungkapan rasa suka dan sayang kamu sama Saras. Habis, kamu bersikap seperti itu nggak cuma terhadap Saras, tapi sama semua teman cewek kamu!" rajuk Saras kesal tapi senang karena ia udah menunggu lama untuk ini.

Fatur tertawa senang. Jadi Saras cemburu! Ternyata usahanya untuk membuat Saras cemburu selama ini berhasil! Diraihnya dan digenggamnya punggung tangan Saras. Wow ... Saras nggak nolak!

"Gimana, Ras? Kamu mau kan kalau kita ...,"

"Mmh," angguk Saras malu-malu.

"Tapi kamu harus maafin dan minta maaf sekaligus berterima kasih sama Ining dan Mamas. Karena kalo nggak ada mereka, kita nggak bisa kaya gini sekarang ini, ya?" kata Fatur sok tua.

Iya deh, Tur, apa kata kamu aja. Yang penting sekarang Saras nggak lagi kudu nahan diri tuk nggak ngejewer kamu kalo jalan sama cewek lain. Kata Saras dalam hati. Kalo bilang, wah bisa-bisa kegeeran lagi! Saras cuma tersenyum aja menanggapi ucapan Fatur tadi.

Ining! Mamas! Maafin Saras, yah! And thank's! jerit Saras dalam hati.


@1996, Anita Cemerlang.


Rabu, 19 Juni 2013

#SEGMENT TAMBAH FOLLOWER & PENCARIAN BLOGLIST

Pengen banget punya follower yang buanyak di Blog mungil saya ini ...eh, di info sama temen untuk ikut segment ini ...Mo ikutan? Sok atuh ...
Klik Disini
Lihat Syarat-syaratnya ya ...

  1. Buat satu postingan yang berjudul #Segment Tambah Follower & Pencarian Bloglist
  2. Follow Blog http://duniakita94.blogspot.com
Segment ini akan berakhir tgl. 30 Juni 2013

Dan inilah followerku 

Sabtu, 08 Juni 2013

Jerawat Cinta

     Alea mematut dirinya di depan cermin. Dipandanginya bayangan seorang gadis belia dengan kulit putih bersih, senyum termanis di dunia ( narsis.com ) dengan 2 lesung pipit di sisi kiri dan kanan wajahnya, plus sebuah titik merah yang menyerupai bentol akibat ....oh..oh..oh...tunggu dulu....itu dia, bisik Alea dalam hatinya. Tiba-tiba teringat kembali percakapannya dengan Theodor, sang kakak, kemarin sore.
     “Gue heran, lo kok bisa betah banget sih main-main sama yang namanya jerawat, Lea!” sindir Theodor yang biasanya dipanggil Theo.
     Alea membelai sebuah jerawat yang cukup ranum di wajahnya. Terlihat sekali dia begitu menyayangi makhluk yang bersemai di wajahnya ini.
     “Theo, kenapa sih, elo gak suka banget kalo gue berjerawat? Atau, barangkali elo cuma sirik. Iya kan? Elo tuh sirik karena elo gak punya jerawat! Ngaku aja deh!” jawab Lea santai menanggapi sindiran Theo.
     “Kenapa gue harus sirik?” tanya Theo gak ngerti.


Kamis, 30 Mei 2013

IIDN, PEMANTIK DALAM HIDUPKU

Apa IIDN bagi saya? IIDN adalah pemantik. Pemantik  keberanian dan rasa percaya diri. Keberanian untuk mencurahkan perasaan dan pemikiran ke dalam bentuk tulisan dan rasa percaya diri mengeksiskan tulisan tersebut sebagai sebuah karya. Bukan saya tidak pernah menggeluti dunia tulis menulis sebelumnya, karena manisnya dunia menulis pernah terkecap. Dunia menulis pernah singgah dalam hidup saya 17 tahun silam. Menulis Diary adalah awal mengenal huruf, kata dan kalimat. Dibumbui dengan rasa cinta, sedih, kecewa dan bahagia. Dilanjut dengan merangkai alur yang dikisahkan dari cerita kehidupan teman-teman semasa remaja. Buahnya saya merasakan menjadi seorang ibu sebelum waktunya. Ya, karena saya masih siswi SMU kala itu. Karya pertama yang berhasil dimuat di sebuah majalah remaja, mengandaikan saya melahirkan sesuatu yang merupakan bagian yang berasal dari tubuh dan pikiran saya. Dari kehidupan saya. Nafas saya. Walau hanya beberapa yang berhasil dimuat, saya cukup bahagia.

Tetapi, perjalanan takdir telah membuat saya memati-surikan semua kebahagiaan. Mimpi yang terenggut, perlakuan yang tidak adil membuat saya tak lagi mempunyai keberanian. Tidak hanya keberanian untuk bermimpi, tetapi juga keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Bahkan hanya untuk menuangkan perasaan ke dalam diary, saya tak mampu. Detik itu saya merasa mati. Karena manusia yang tak mempunyai impian, adalah manusia yang sudah mati, begitu pelecut yang saya doktrinkan kepada diri sendiri untuk berjuang meraih mimpi. Saya berusaha bangkit dan berontak, tetapi sebuah kata MENJADI BEBAN HIDUP meluluh-lantakkan usaha saya.

Disaat saya merasakan hidup tanpa arah dan bimbingan, saya terhenyak untuk kedua kalinya.  Kali ini lebih pedih. Hina dina, caci maki dan tudingan kali ini mengikatkan persahabatan dengan saya. Kehilangan materi  bukanlah apa-apa dibandingkan sebuah pengkhianatan yang disodorkan. Perasaan sendiri ditengah keramaian, saya 'nikmati'. Perasaan berpisah dengan raga, terlintas sempat. Tapi Allah SWT menunjukkan kasih sayangnya. Saya disadarkan kalau saya masih bisa dan harus bangkit. Saya masih mempunyai bekal yang Ia hadiahkan dulu, untuk saya pergunakan sebagai pijakan saya berdiri. Menulis.

Maka, mulailah saya berteman dengan pena dan kertas. Tetapi saya merasa tulisan saya tidak tulus. Palsu. Karena saya menulis tanpa hati. Tanpa rasa. Karena masih ada ketakutan yang membatasi kebebasan hati dan pikiran saya berimajinasi. Lalu saya mengikuti pelatihan menulis dan menghadiri acara launching buku, saya berharap kebebasan mereka menuangkan segenap imajinasi tertular pada saya. Cara itu cukup berhasil, sedikit saya mulai mengenali hasil tulisan saya adalah saya. Tapi saya tetap masih belum mempunyai keberanian untuk merenda mimpi menjadi seorang penulis. Sampai saya membaca sebuah artikel  tentang Komunitas Ibu - Ibu Doyan Nulis ( IIDN ) di sebuah majalah keluarga. 

Di IIDN saya seperti menemukan rumah yang berisikan jiwa-jiwa yang bebas berekspresi dan berkarya dengan minat yang sama. Tanpa takut dicemooh, tanpa takut gagal. Dan semangat untuk bangkit dan mencoba lagi dari teman-teman di IIDN, menjadi pemantik dan pelecut bagi keberanian saya untuk bermimpi, untuk mulai menulis, berkarya dan merenda mimpi menjadi seorang penulis. Saya merasakan  juga suatu bentuk kekeluargaan yang saling mengayomi, memperhatikan dan saling membimbing. Dan saya bangga bisa menjadi bagian dari keluarga itu.

Apalagi setelah membaca buku besutan Indiscript Creative, si Agensi Naskah-nya, berjudul Puzzle Mimpi, yang dirangkai dan dironce kalimatnya oleh Anna Farida berisi kisah nyata perjalanan hidup seorang Indari Mastuti. Saat membacanya, saya seperti memasukkan puzzle-puzzle kehidupan saya sendiri dalam sebuah bidang datar. Walau berbeda alur, tetapi ada satu dua masalah hidup yang serupa dalam kehidupan saya yang dialami pendiri IIDN itu. Saya seperti dilecut untuk kali kedua dengan kalimat dalam buku tersebut, "Segala luka tidak akan membuatku bernanah. Segala penghinaan tidak akan membuatku menyerah. Segala fitnah tidak akan membuatku marah. Masa depan ada di tanganku sendiri, bukan mereka yang membuatku terluka, yang menghina, pun yang memfitnah. Semakin banyak rintangan, semakin cemerlang masa depan."

Dan alhamdulillah, saya mulai menapaki jalan kepenulisan. Dimuatnya sebuah cerpen di majalah remaja baru-baru ini menjadi titik start saya. Memang baru sebuah, tapi saya yakin, jika saya ulet, pantang menyerah dan terus bersabar, saya bisa menjadi seperti teman-teman di IIDN yang begitu produktif menelurkan karya-karyanya yang spektakuler. Bukankah seribu itu berawal dari sebuah? 

Saya juga memberanikan diri untuk menuangkan aspirasi dalam sebuah Blog. Masih sederhana dan belum sekeren teman-teman yang lain, karena saya kurang mahir juga dalam dunia maya. GAPTEK istilahnya. Tapi  dengan belajar, saya yakin bisa.

Di hari jadi IIDN ini, saya menghaturkan beribu terima kasih kepada teman-teman di IIDN, terutama Mba Indari Mastuti dan Mba Lygia Pecanduhujan, sang Markom geulis. Terima kasih untuk kesediaannya menjadikan saya bagian dari komunitas ini, terima kasih untuk kesediaannya meluangkan waktu, mencurahkan perhatian dan berbagi ilmu serta pengalaman dalam dunia kepenulisan. Semoga IIDN everlasting dan para perempuan, khususnya kaum ibu, bisa terus berkarya dan mewujudkan semua mimpi yang telah dirajut, lewat sebuah TULISAN.





Rabu, 29 Mei 2013

My Publish Story

Alhamdulillah ... setelah 17 tahun tidur panjang saya, akhirnya dimuat lagi sebuah karya berjudul Jerawat Cinta. Di Majalah Cerpen JoeFiksi, Vol. 3 edisi bulan April 2013. 

Jerawat Cinta bercerita tentang timbulnya suatu perasaan cinta karena sebuah jerawat. Jerawat? Ya, sebuah jerawat. Ide cerita ini saya dapat dari Almarhum Bapak saya tercinta. 

Mungkin sebetulnya Cerita Jerawat Cinta ini merupakan luapan kekesalan saya karena ulah Bapak yang selalu berkelakar mengenai wajah saya, "Itu muka apa parutan?"

Hehehe ... semasa remaja dulu, saya memang makhluk tomboy yang paling anti dandan dan merawat diri. Muka berminyak dan jerawat yang tumbuh subur menghiasi wajah, tidak sedikitpun menggores rasa percaya diri saya bahwa saya itu imut. Jadi, cuek bebeklah saya dengan atribut cewek, semacam pembersih, kapas, toner, pelembab dan teman-temannya.

Pertanyaan Bapak lainnya, "Gimana mau dilirik & disukain cowok, kalau mukanya ngga jelas gitu!" juga tak membuat saya melirik atribut perawatan. Malah saya bilang, "Kalau perasaan suka itu, mestinya ngga usah liat penampilan dong! Kalau emang tulus suka, ya terima apa adanya, ngga pake syarat!" yang kemudian saya dihadiahi jitakan mesra sama Bapak karena menjawab seperti itu.

Karena ngeyel, akhirnya Bapak menitahkan Mama untuk merawat wajah saya setiap harinya. Walhasil, setiap pulang sekolah, saya 'wajib' menyetorkan wajah untuk dibersihkan. Berangkat dari situ, saya bertekad  untuk membuat sebuah cerita tentang jerawat yang justru menjadi pencetus rasa suka dan cinta. Dan saya Berhasil! Berhasil! *efek berteman dengan Dora*

Tapi saya sempat tercenung. Andai saya bisa memperlihatkan majalah yang memuat cerita saya ini sewaktu Bapak masih hidup, mungkin kebahagiaannya akan terasa lebih bermakna. Hiks...Hiks...Hiks ...STOOP!!! Jangan kelamaan ... karena saya yakin Bapak melihat majalah ini dan tengah tersenyum bangga pada saya. Aah ... Bapak ... I miss you ... So much ...




Rabu, 22 Mei 2013

Mata Elang Mania

 "Hai, Ya! Tumben pagi-pagi udah dateng. Pasti lagi nyalin pe er ya," Suara Irma tak kuhiraukan. Aku tetap asyik menyalin. Karena aku yakin Irma pasti tahu kebiasaanku kalo pagi-pagi begini rajin. Merasa tak kuhiraukan, Irma langsung menutup buku milik Ayu yang ku salin. "Ufs ...," dongkol juga hatiku!
     Lima menit kemudian Irma mulai lagi mengicau. "Hei, Non! Rajin ya rajin. Tapi denger dulu, Irma punya kabar bagus nih." cerocos Irma lagi. Kumat.
     "Udah deh, Ir. Jangan suka ngeganggu! Lagian kabar apa sih, pagi-pagi begini?" tanyaku kesal.
     "Hei, dengar Ayaris Dwina, idolamu si Mata Elang Mania lagi ada di koperasi! Yuk kita kecengin!" Irma semangat empat lima kalo soal kecengin cowok. Ngga boleh lihat barang bagus dikit, pasti disabet!
     "Si Mata Elang, Addis maksud kamu? Anak fis satu?" sergapku.
     "Betul. Seratus buat kamu!"
     "Terus, mo diapain?" tanyaku enggan.
     "Hai, Ya." Irma mulai lagi duduk di depanku. "Mumpung masih sepi, kan belum ada yang ngecengin doi. Kita ajak dia kenalan, gimana? Ini kesempatan terbesar kita, Ya!" Irma tambah semangat, nafsu banget!
     Terus terang ketika nama Addis disebut-sebut Irma, aku sebenarnya ingin langsung aja menuruti ajakannya. Addis yang dimaksud Irma tak lain adalah, Addis yang punya mata tajam bagikan elang ( ceile ), kakak kelasku yang memang sangat beken di sekolahku. Hampir semua cewek nominasi di sekolahku pada ngincer dia. Aku menimbangnimbang ajakan Irma. Kubanyangkan senyum Addis si Mata Elang yang memang asyik banget tuk diliat.
     "Mau apa nggak, kamu? Kalo kamu nggak mau, biar aku ajak Anti aja." Irma tambah memanas-manasi dengan menyebut nama sainganku itu.
     "Okelah, Ir." kataku akhirnya. Aku beranjak dari tempat dudukku lalu langsung menguntit Irma ke ruang koperasi.
     Suasana di tempat koperasi masih senyap. Hanya terlihat Pak KOmar, penjaga koperasi dan dua orang siswa yang berada di situ, sedang menata barang-barang yang hendak dijual. Dan salah satu dari dua orang tersebut adalah Addis.
     "Tuh. . .," Irma menyenggolkan bahunya.
     "Kamu aja, Ir. yang pura-pura beli," kilahku.
     "Dasar penakut. Mana bisa kamu mendapatkan dia. Baru segitu aja udah jiper!" sungut Irma.
     "Eh, si eneng. Pagi-pagi udah ngerumpi. Rumpiin naon?" sapa Pak Komar yang udah akrab denganku dan Irma. Soalnya kita juga udah biasa bantuin beliau menjajakan dagangannya yang ada di koperasi.
    "Siapa yang ngerumpi? Ini nih, pak. Si Ayas mo beli kertas ulangan aja pake malu-malu. Biasanya juga ngambil sendiri, ya pak?" ujar Irma.
    "Idiih, Irma. Enak aja kalo nuduh! Bohong, pak! Orang Ayas cuma nganterin doang!" elakku.
     "Udahlah, sama aja. Ngga usah berantem," lerai Pak Komar. "Coba Dis, bantu neng-neng geulis ini," katanya pada Addis, yang cuma sneyum mengiyakan. Masih dengan senyumannya yang maut, ia melayani kami.
     "Mau apa?" tanyanya ramah.
     "Mau beli kertas ulangan," sahutku hampir bersamaan dengan Irma.
     "Berapa, Dik?" tanya Addis masih dengan senyum mautnya. Deg-deg-pyar, terasa ramai sekali jantungnya melihat senyum itu. Mungkin si Irma juga begitu. Mata teduh Addis memandang bergantian ke arah Irma dan aku.
     "Empat lembar aja, Kak," jawabku sambil menyodorkan uang kertasan.
     "Sepertinya saya pernah melihat Kakak, tapi di mana ya?"Irma mulai berbasa-basi memancing suasana. 
     Addis menyerahkan kertas ulangan kepadaku. "Di mana, hayo?" tanya Addis. 
     Wah, ternyata ramah juga orangnya. Kirain sombong, nggak tahunya. Emang kita nggak boleh liat orang dari luarnya aja!
     "Di kampus LIA, iya. Kak ... siapa namanya? Les di sana juga kan?" Irma mulai kumat gokilnya. Kalau nggak kuberi tahu, dia juga nggak tahu kalo Addis les Bahasa Inggris di tempat yang sama denganku.
     Karena merasa mendapat angin, Addis langsung menyodorkan tangannya. Masih dengan bibir tersenyum. "Addis. Kamu benar, saya memang kursus di sana. Tapi sepertinya saya nggak pernah ngeliat kamu," ujarnya pada Irma.
     Tanpa sungkan lagi Irma langsung nyerobot tangan Addis. "Nama saya Irma. Saya emang nggak kursus di sana. Tapi teman saya ini pernah melihat kakak, habis tempat kursusnya sama sih," tunjuk Irma padaku.
     "Oh, kamu!" Addis ganti menyodorkan tangannya ke arahku.
     "Aya."
     "Tingkat berapa di sana?" tanya Addis.
     "Intermedite two," jawabku. "Kakak?" Aku balik nanya.
     "Sama dong kalo begitu! Di IM 2 juga."
     "Kita juga diajak kenalan, dong!" Teman Addis yang sedari tadi asyik menata buku tulis menyahut.
    Selanjutnya kami berempat terlibat pembicaraan seru sambil sesekali tertawa ketika Irma dan Addis saling gojlok. Pembicaraan kami terhenti karena bel tanda masuk mengiang. Aku serta Irma langsung bergegas menuju kelas.
    "Kita berhasil, Ya!" teriak Irma sambil melompat kegirangan seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan.



     Kulirik jam di pergelangan tanganku. 13.10. Itu berarti tinggal 10 menit lagi waktu mengejar absen. Kalau lewat, berarti kehadiranku tak diakui. Mana matahari semakin panas, mobil yang kutunggu belum ada satu pun yang lewat. Begini ini, dukanya kalo tempat kursus jauh dari rumah.

     Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depanku. Siapa ya? Nggak ada seorangpun di halte ini selain aku, tapi aku juga rasa-rasanya nggak punya teman or saudara yang punya ... Belum hilang rasa bingungku, muncul seraut wajah dari balik kaca, yang belakangan ini menghiasi mimpi-mimpiku.
     "Aya, ayo naik. Kamu udah telat, kan? Kita bareng-bareng aja. Saya juga mau kursus." Addis menawarkan bantuan.
     Sejenak aku ragu. Malu rasanya. Tapi, waktu udah mepet banget! AKhirnya kuputuskan untuk menerima kebaikannya. Di sepanjang perjalanan kami nggak banyak bicara, soalnya ngejar waktu, jadi Addis lebih banyak diam. Konsen nyetir.
     "Makasih Kak," kataku setelah sampai di tujuan.
     "Yo, sama-sama. Ruang berapa?" tanyanya.
     "307."
     "Kita selisih dua kelas. Addis di ruang 305. Yuk!"
     Kami berpisah karena ruangan Addis terletak di lantai dua, sedangkan aku di lantai tiga.
     Alhamdulillah. Akhirnya bel berbunyi juga. Udah mo merem aja nih mata. Ngantuk. Tumben ini kali Mr. Bowo ngajarnya bikin boring! Bergegas kuturuni tangga menuju pintu keluar. Ingin cepat-cepat saja rasanya pulang dan menikmati segelas air jeruk dingin yang segar. Alangkah kagetnya aku ketika lenganku dicekal oleh sebuah tangan yang kekar. Mau marah saja rasanya, kalo nggak tahu siapa orang yang melakukannya. Kalo bukan Addis yang melakukannya, aku pasti ngamuk berat. Tapi, karena Addis, aku nggak marah malah mao minta nambah rasanya, he...he..., dasar genit!
     "Buru-buru banget sih, Ya! Laper, ya?" lagi-lagi senyum mautnya keluar. Duh Mama, nggak ku-ku nih!
     "Tau aja," candaku.
     "Ya, ikut Addis yuk! Temenin. Kebetulan Addis lagi pengen makan donat. Kita ke Dunkin. Addis traktir, deh. Mau ya?" tanyanya penuh harap.
     "Mmh. Gimana, ya?" aku terdiam. Bingung. Rasa kantukku tiba-tiba aja hilang. Nggak tahu kemasukan jin mana, aku langsung mengangguk, mengiyakan ajakannya. "Wah, boleh juga tuh, Kak."
     "Good. Eh, iya. Panggilnya nggak usah pake embel-embel Kakak. Cukup Addis. Oke?"
     "Kenapa? Nggak suka dipanggil kakak?"
     "Nggak juga sih. Cuma risih aja. Kamu nggak keberatan kalo manggil Addis aja?"
     "Iya deh," kataku akhirnya. Mimpi apa ya aku semalam. Bisa diantar, diajak makan oleh seorang Addis yang beken bin keren. Wah, kalo Irma tahu, pasti dia bakal sirik berat!



     Sudah setengah jam kami duduk di sini, tapi belum juga ada yang membuka dan memulai pembicaraan. Sesekali mata kami saling bersirobok. Tapi kenapa aku terus yang langsung tertunduk malu saat menatap mata elangnya. Tak dapat melihat lama pada ketajaman mata elangnya. Tuhan, Kau ciptakan dia begitu gagah, dengan sepasang mata elang, alis tebal yang menaunginya. Rahang yang kokoh yang menunjukkan kepribadiannya yang keras. Tak banyak kata yang bisa terucapkan untuk menggambarkan seorang Addis.

     "Kamu ...," kata kami hampir bersamaan. Kami sama-sama tertawa karena kegugupan kami masing-masing.
     "Kamu duluan," ujarku.
     "Mmh. Oke." Addis terdiam sejenak. "Ya, boleh Addis ngomong sesuatu?" tanyanya.
     "Ngomong aja," sahutku kalem. Aku nggak mau mengira-ngira apa yang akan dikatakan Addis. Terlalu jauh jika aku berharap ia menyukaiku. Aku bukanlah cewek kebanyakan. Yang punya wajah cantik, pintar, dan kaya. Aku biasa-biasa aja. Mungkin karena aku supel sehingga aku bisa banyak teman. Yah, hanya itulah kelebihanku. Supel. Lain tidak.
     "Ingat waktu kita ketemu di koperasi sekolah? Kita ngobrol banyak waktu itu. Kamu tau, Ya. Sejak itu Addis nggak pernah bisa lupa tentang kamu. Ingat kamu terus. Senyum kamu, canda kamu, gaya bicara kamu, juga tatapan mata kamu yang lembut. Addis rasa, Addis suka kamu, Ya. Mmh, kamu jangan marah ya, Addis ngomong begitu. Addis cuma ngomong apa adanya. Apa yang Addis rasakan. Cuma itu." ucap Addis hati-hati sepertinya takut aku marah jika mendengarnya. Padahal dalam hatiku senang sekalee! Aku benar-benar nggak nyangka kalo Addis bisa suka sama aku.
     "Aya nggak marah kok, Dis. Makasih ya, kamu punya perhatian seperti itu buat Aya. Kalo Aya boleh ngomong, Aya rasa, Aya juga suka kamu," tuturku malu-malu.
     "Sungguh, Ya?" kulihat binar-binar cahaya cinta di sana.
     Kutatap mata elangnya untuk memastikan bahwa aku tidak main-main. Aneh, kali ini aku berani menentang ketajaman mata elangnya. Mungkin karena kini aku telah memilikinya. Mungkin juga karena aku menemukan kesungguhan rasa cinta di sana. Biarlah hanya aku dan Addis yang bisa tahu dan merasakannya melalui ketulusan yang terpancar dari sinar mata kami berdua.

@Anita Cemerlang,1996.