Alea
mematut dirinya di depan cermin. Dipandanginya bayangan seorang gadis belia
dengan kulit putih bersih, senyum termanis di dunia ( narsis.com ) dengan 2
lesung pipit di sisi kiri dan kanan wajahnya, plus sebuah titik merah yang
menyerupai bentol akibat ....oh..oh..oh...tunggu dulu....itu dia, bisik Alea
dalam hatinya. Tiba-tiba teringat kembali percakapannya dengan Theodor, sang
kakak, kemarin sore.
“Gue
heran, lo kok bisa betah banget sih main-main sama yang namanya jerawat, Lea!”
sindir Theodor yang biasanya dipanggil Theo.
Alea
membelai sebuah jerawat yang cukup ranum di wajahnya. Terlihat sekali dia
begitu menyayangi makhluk yang bersemai di wajahnya ini.
“Theo,
kenapa sih, elo gak suka banget kalo gue berjerawat? Atau, barangkali elo cuma
sirik. Iya kan? Elo tuh sirik karena elo gak punya jerawat! Ngaku aja deh!”
jawab Lea santai menanggapi sindiran Theo.
“Kenapa
gue harus sirik?” tanya Theo gak ngerti.
“Ya iyalah! Elo pasti tahu dong, kalo jerawat itu timbul karena pengaruh hormonal yang menyebabkan peningkatan kalenjar minyak di usia pubertas seperti kita. It means, seharusnya di usia kita sekarang ini, telah terjadi perubahan fisik dari anak-anak menjadi dewasa. Salah satu tandanya, dengan timbulnya jerawat! Dan secara, jerawat lo gak pernah timbul, berarti hormon lo tuh gak pernah berubah! Elo tetap aja baby boy! Jerawat itu lambang kedewasaan, you know?” Lea mengakhiri penjelasannya dengan senyum manis.
Seketika
Theo panas mendengarnya. Memang, dari dulu Theo gak pernah mendapati sebuah
jerawat pun di wajahnya. “Tapi, Le, jerawat itu kan hanya salah satunya!
Buktinya, suara gue pecah, ada tumbuh rambut di...eh, pokoknya yang tadi gue
sebutin itu juga tanda menuju kedewasaan! Enak aja bilang gue masih baby boy!!”
ujar Theo bersungut-sungut.
Lea
hanya mengedikkan bahunya enggan. Lagi males debat sama Theo.
Melihat
adiknya tak merespon, Theo lalu berujar, “Sebetulnya gue gak mau ikut campur,
Le. Tapi karna gue kakak yang baik, gue kasih tahu satu rahasia penting yang
pasti elo mau tahu. Soal Leon...,” pancing Theo.
Leon!
Dengan seketika Lea bereaksi. “Rahasia apa?” tanyanya.
Theo
tersenyum usil bin senang. “Kenapa Leon belum juga nembak elo jadi pacarnya!,”
Theo melebarkan senyumannya melihat ekspresi kaget Lea.
“Elo
tahu kenapa?” tanya Lea lagi.
“Ya
iyalah, Theo...!,” seringai Theo.
“Kenapa?
Ayo dong, The, bilang sama gue!” rengek Lea.
“Tapi
bilang dulu gue bukan baby boy dan janji gak bakal ngomong kaya gitu lagi!”
tekan Theo yang rupanya gak bisa terima dirinya dibilang baby boy. Harga
dirinya merasa dinjak – injak!
“Iya,
iya! Elo bukan baby boy! Dan gue janji gak akan bilang elo baby boy, selamanya!
forever! Sueer!” janji Lea.
Theo
menunjuk jerawat di wajah Lea. “Asal tahu aja, Leon paling gak suka sama cewek
yang face-nya bagaikan ‘bulan’ kaya lo gitu!”
“Lo
yakin, The, kalo jerawat gue ini yang jadi sebab si Leon belum nembak gue
sampai sekarang?” tanya Lea ragu sambil membelai jerawatnya lagi.
“One
hundred percent, my little sister. Gue yakin banget! Karena Leon nunggu muka lo
bebas dari virus-virus jerawat yang . . . iiih,” Theo mengedikkan bahunya
menunjukkan kalo dia jijay.
Lea
termangu dengan ingatannya. Diputarnya lagi sekuel awal ketertarikannya dengan Leon, teman Theo,
yang sering main dan nginap di rumah. Mulanya Lea kira si Leon kelilipan
matanya, suka kedip-kedip. Tapi kalo
diperhatiin, cuma sama Aelea aja Leon begitu. Setelah melalui pemikiran yang
panjangnya dua meter, eh, pemikiran yang panjang aza, dan beberapa tes,
akhirnya Lea ngambil kesimpulan kalo Leon ada rasa ke dia. Rasa coklat, strawberry,
melon, idiih . . . ngawur ya? Itu loh, rasa suka! Ya, kalo maunya Lea sih,
lebih. Jadi rasa. . .ehem, cinta! Ups! Tapi apa Lea udah boleh punya rasa. . .mmh
. . . ngomongnya jadi gak enak, singkat aja ya? Punya rasa C itu, apa udah
boleh?
Tapi
ah, cuek aza kali! Nenek bilang, cinta gak kenal usia! Berbekal kata Nenek barusan, Lea akhirnya
ikutan juga gayanya si Leon. Kedip-kedip plus nyodorin senyum manis kalo
kebetulan si Leon lagi main dan nginep di rumah. Peristiwa itu pasti akan
berlangsung dengan aman bin lancar-lancar aja, kalo si Theo gak melihat
bagaimana Lea selalu mematut diri di depan cermin setiap kali habis main mata
dengan Leon.
Ya,
sebetulnya kesalahan gak hanya jatuh pada Theo. Walaupun badungnya setengah
mati, si Theo itu punya keturunan otaknya si Einsten! Cemerlang banget! Dia
tahu betul bagaimana manfaatin suasana kaya begini. Dia tahu kalo udah lama
Leon ada perhatian ke Lea, adiknya. Cuma karna si Leon gak pernah mau curhat,
jadinya ya Theo biasa-biasa aja. Belaga gak tahu. Tapi Leon dia manfaatin buat
ngedeketin Karla, cewek cantik bin intelligence, tetangga barunya si Leon. Kalo
Leon bilang ogah tuk nyampein salam dan cerita tentang “hebatnya si Theo”, maka
dengan sadisnya Theo ngomong, “Lo gak usah deh, main dan nginep di rumah
gue! Ngerepotin! Sorry aja, gue lagi ogah direpotin!”
Buat
Leon, daripada gak boleh main apalagi nginep di rumah Theo, trus gak bisa
ngeliat dan canda sama Lea, mendingan pasang muka badak, nyampein salam ke Karla
sambil promosiin si Theo rese itu. Biarpun Karla udah pasang muka pegel tiap
kali Leon ngomongin Theo. Habis gimana si Karla gak boring, sehari bisa tiga
kali Leon ngomongin Theo. Emangnya minum obat! Udah gitu, ceritanya gak pernah
berubah. Teratur banget! Saking teraturnya, kalimatnya itu-itu aja dan sampai
Karla hapal luar kepala!
Kalo
si Lea, Theo manfaatin buat nyediain segala kebutuhan dan keinginannya. Kalo
lagi pengen minum air jeruk, Lea disuruh bikin. Sampai kalo Theo pengen baca koran
or majalah yang gak jauh-jauh amat posisinya, tapi ia malas, maka dipanggillah
Lea untuk disuruh ngambil itu koran walaupun Lea sedang berada di kamarnya, di
lantai atas. Kalo Lea nolak, Theo pasti ngomong, “Lea, besok-besok, kalo temen gue
main ke sini, elo gak usah repot bikinin minum. Biar Bi Ijah aja yang bikin!
Terus kalo gue sama Leon lagi main PS, loe gak boleh ngegerecokin!”
Wah,
kalo Theo udah ngomong gitu maka dengan rela yang sangat dipaksakan, Lea
melakukan apa yang Theo minta. Ya gak ada salahnya untuk sementara jadi
pembokatnya sang kakak. Demi Leon, apapun gue lakonin, begitu Lea menghibur
dirinya sendiri. Kalo gak karna Leon, Lea bakalan ogah banget baikin Theo. Orang
kakaknya itu gak pernah nyenengin adiknya. Buktinya, Lea gak pernah dibeliin coklat, walaupun Lea udah merengek minta dibeliin. Eh, sekalinya dibeliin,
kakaknya itu minta ganti uangnya yang dipakai untuk beli coklat itu. Gila
ngga?! Masa sama adik sendiri perhitungan banget!
Tapi
biar sadis kaya gitu, Theo sering banget nyari – nyari moment biar Lea bisa main kedip-kedipan mata
sama Leon. Kayanya sih doi setuju aja kalo nantinya Leon make a part
sama Lea, adiknya.
“Cepetan
lo bersihin tuh muka, sebelum Leon disamber orang!” Theo mengacak rambut Lea
dengan sayang. “Gue denger Carissa juga suka tuh sama Leon, Le!” bisik Theo di
akhir percakapannya dengan Lea.
Sejak
itu sampai saat ini Lea selalu mematut dirinya di depan
cermin. Hatinya ragu, betul ngga sih, ucapannya si Theo? Sebenarnya Lea ngga
mau menghambat proses alamiah yang terjadi pada tubuhnya. Jerawat ini salah
satunya. Inginnya Lea, semua berjalan seperti seharusnya, berproses normal-normal
saja. Lagian menurut Lea, jerawat
di
wajahnya ini membuat dirinya makin cute! (
narsis.com lagi ).
Tapi,
ia juga pengen Leon jadi pacarnya. Ditambah si Carissa yang centil bin lenjeh
itu jadi rivalnya! Ugh, ngga rela banget! Duh, gimana ya? Lea berpikir keras.
Saat itu tiba-tiba ia mendengar suara Carissa di luar kamarnya.
“Leon
. . . Leon! Mau kemana?” suara cempreng si Carissa bertanya.
“Mau
ke rumah Theo. Kenapa Sa?” jawab Leon.
“Mmh.
. . bisa anterin gue ke toko buku gak?” tanyanya lagi.
“Mo
ngapain?”
“Ada
tugas nih dari Bu Elma. Ada referensi yang kurang untuk bikin makalah Sejarah.
Bete kan kalo jalan sendiri. Mau ya?” rajuk Carissa.
“Sama
yang lain aja deh! Gue udah janji nih sama Theo!” tolak Leon.
“Gak
ada lagi yang lain, Leon! Gue maunya sama elo!” desak Carissa.
“Lain
kali aja deh! Udah ya.” dengan cueknya Leon meninggalkan Carissa dan masuk ke
pekarangan rumah Theo.
Carissa
menghentakkan kakinya dengan kesal. Pasti alasan aja tuh anak mau main dengan
Theo! Pasti mau ketemu Lea! Umpat
Carissa yang sedetik kemudian matanya bersirobok dengan Lea, yang mendengar dan
melihat kejadian tadi. Carissa mencibir dan cepat-cepat berjalan sebelum
melihat senyum kemenangan di wajah Lea.
Yah,
begitulah. Sejak saat itu Lea rajin menggali info tentang jerawat. Dari
definisinya, penggolongannya sampai cara menghilangkannya. Dia juga membawa
kertas penyerap minyak untuk menyerap kelebihan minyak di wajahnya dan seminggu
sekali Lea pasti memakai masker pada wajahnya. Berbagai ramuan masker dia coba.
Dari yang pembuatannya alami sampai kemasan yang tinggal pakai. Tomat,
mentimun, jeruk nipis sampai temulawak pernah dicobanya. Dengan sabar dicobanya
satu persatu segala tips yang ia dengar dan baca. Sekarang keinginannya begitu
kuat untuk melepaskan jerawat dari wajahnya. Ia juga rajin mengoleskan cream anti
jerawat di wajahnya. Itu semua demi cintanya pada Leon.
“Lea!”
panggil Theo di suatu siang yang panasnya gak mau kompromi itu.
“Apaan
sih? Suruh beli pangsit lagi? Duh, The, lo gak liat panasnya kaya begini? Tega
banget sih ngeliat adiknya sengsara. Lo mau ya kulit gue jadi item, jalan keluar
dari rumah di panas yang teramat sangat terik begini?” keluh Lea.
“Gaklah!
Don’t worry beb! Gue mo ke rokumnya Doni sebentar. Lo temenin Leon gih!”
kerlingnya nakal.
“Iya
deh. Tapi don’t be long ya!”
“Don’t
be long apa lama-lamain aja?”goda Theo.
“Udah
sana! Gue serius nih. Lagi banyak homework!” usir Lea cepat sebelum dia merasa
wajahnya memerah.
Theo
tertawa terkekeh-kekeh sambil ngeloyor keluar rumah. Leon udah membuat
pengakuan tadi kalo dia suka Lea dan pengen jadiin Lea ceweknya! Sukses juga
gue jadi MC. Theo tea! Bisik hatinya bangga.
“Hai,
Leon!” Lea menyapa Leon dengan sok tenang. Padahal dalam hatinya, wah, bunyi
bedug bertalu – talu bo!
“Hai,
Lea. Apa kab . . .,” Leon menghentikan kalimatnya. Dia kaget melihat wajah Lea
yang bebas dari jerawat. “Lea, loe apain tuh muka?” tanyanya.
“Kenapa?
Kinclong ya?” tanya Lea balik dengan sedikit pamer.
“Mmh
. . . gimana ya?” Leon garuk-garuk kepalanya yang gak gatal.
“Gimana,
makin oke kan gue? Theo bilang, wajah gue kelihatan lebih putih, lebih bersih, betul
ngga sih?”
“Ya
. . .,”
“Ternyata
kerja keras gue gak sia-sia. Segala sayuran gue jadiin masker plus ternyata
iklan itu gak sepenuhnya bokis loh! Buktinya, gue pake salah satu produk obat
jerawat yang iklannya lagi gencar di tipi. Gue kira itu cuma promosi doang biar
produknya laku. Tapi ternyata gue salah besar. Tuh obat manjur punya. Bayangin,
hanya dalam waktu seminggu muka gue udah bebas dari jerawat,” cerocos Lea
disertai rasa bangga.
Leon
nyengir. “Duh, Lea . . . andai lo tahu,” bisiknya dalam hati.
“Lo
kok diem aja? Leon, ayo dong kasih comment. Biasanya lo paling seneng
ngomentarin gue.” Lea heran melihat sikap Leon yang aneh.
“Aduh,
gimana yah? Mmh . . .Lea, sebetulnya . . . gue . . .,” Leon jadi salting.
“Lo
kenapa?”
“Gue
. . . gue suka elo. Mmh . . . jangan marah ya?” ucap Leon pelan.
Lea
menggeleng. “Gak, gue gak marah. Kenapa gue harus marah. Itu kan hak elo,” ujar
Lea sok bijak sambil meredakan degupan kencang di hatinya. Ternyata oh ternyata,
feelingnya bersambut! Kebayang gak sih, kalo Lea bisa jadian sama Leonardo si gunung es? Wah .
. . bakalan heboh banget! Terutama Carissa!
“Lea,
pertama kali gue liat elo, sebetulnya gue udah suka. Tapi gue ragu aja bilang
ke elo. Takut kalo elo gak suka. Mmh . . . lo mau tahu apa yang gue suka dari
elo?”
Lea
mengangguk.
“Gue
suka elo karena . . . jerawat yang ada di muka elo. Kelihatan cute banget!
Sumpah mati gue juga gak ngerti kenapa gue suka jerawat elo. Kebanyakan cowok
kan lebih suka liat cewek yang mukanya mulus. Tapi kebalikannya, gue justru
lebih suka yang berjerawat. Lea, jangan marah ya, tadinya gue pengen jadiin elo
pacar gue. Tapi sekarang . . . maaf Lea, sekali lagi maaf. Gue gak bermaksud
nyakitin elo, tapi gue juga gak mau bohongin diri sendiri kalo rasa suka gue
berkurang ke elo. Ya, karena sesuatu yang bikin gue suka udah gak ada lagi. Jadi, elo tahu maksud
gue kan?!” ujar Leon hati-hati. Ia yakin Lea bisa mengerti maksudnya.
Lea
hanya terdiam mendengar semua perkataan Leon. Ia gak percaya dengan semua yang baru
didengarnya. “Leon suka gue karena gue berjerawat!” Bisiknya dalam hati. “Ya
ampun, jadi . . .”Sesaat
Lea tersadar. Imi semua ulahnya si Theo! Dia yang bikin gue mau aja ngusir
jerawat gue. “Sialan! Theo, elo kudu bayar nih semua. Pokoknya gue gak mau
tahu! Jerawat gue harus balik!” umpatnya dalam hati.
“Tunggu
ya, Leon! Tunggu! Elo bakal bisa liat lagi jerawat -jerawat gue. Jangan kemana-mana
ya, tunggu! Diem di situ!” dengan panik Lea wanti-wanti ke Leon. Selanjutnya
dengan cepat Lea berlari menyusul Theo ke rumah Doni yang gak jauh dari rumah
mereka sambil teriak,”Theo . . . Theodor, balikin jerawat gue! Gue mau jerawat
gue sekarang!! Theo . . .!!!

Tidak ada komentar:
Posting Komentar