Headline News

Kamis, 30 Mei 2013

IIDN, PEMANTIK DALAM HIDUPKU

Apa IIDN bagi saya? IIDN adalah pemantik. Pemantik  keberanian dan rasa percaya diri. Keberanian untuk mencurahkan perasaan dan pemikiran ke dalam bentuk tulisan dan rasa percaya diri mengeksiskan tulisan tersebut sebagai sebuah karya. Bukan saya tidak pernah menggeluti dunia tulis menulis sebelumnya, karena manisnya dunia menulis pernah terkecap. Dunia menulis pernah singgah dalam hidup saya 17 tahun silam. Menulis Diary adalah awal mengenal huruf, kata dan kalimat. Dibumbui dengan rasa cinta, sedih, kecewa dan bahagia. Dilanjut dengan merangkai alur yang dikisahkan dari cerita kehidupan teman-teman semasa remaja. Buahnya saya merasakan menjadi seorang ibu sebelum waktunya. Ya, karena saya masih siswi SMU kala itu. Karya pertama yang berhasil dimuat di sebuah majalah remaja, mengandaikan saya melahirkan sesuatu yang merupakan bagian yang berasal dari tubuh dan pikiran saya. Dari kehidupan saya. Nafas saya. Walau hanya beberapa yang berhasil dimuat, saya cukup bahagia.

Tetapi, perjalanan takdir telah membuat saya memati-surikan semua kebahagiaan. Mimpi yang terenggut, perlakuan yang tidak adil membuat saya tak lagi mempunyai keberanian. Tidak hanya keberanian untuk bermimpi, tetapi juga keberanian untuk jujur pada diri sendiri. Bahkan hanya untuk menuangkan perasaan ke dalam diary, saya tak mampu. Detik itu saya merasa mati. Karena manusia yang tak mempunyai impian, adalah manusia yang sudah mati, begitu pelecut yang saya doktrinkan kepada diri sendiri untuk berjuang meraih mimpi. Saya berusaha bangkit dan berontak, tetapi sebuah kata MENJADI BEBAN HIDUP meluluh-lantakkan usaha saya.

Disaat saya merasakan hidup tanpa arah dan bimbingan, saya terhenyak untuk kedua kalinya.  Kali ini lebih pedih. Hina dina, caci maki dan tudingan kali ini mengikatkan persahabatan dengan saya. Kehilangan materi  bukanlah apa-apa dibandingkan sebuah pengkhianatan yang disodorkan. Perasaan sendiri ditengah keramaian, saya 'nikmati'. Perasaan berpisah dengan raga, terlintas sempat. Tapi Allah SWT menunjukkan kasih sayangnya. Saya disadarkan kalau saya masih bisa dan harus bangkit. Saya masih mempunyai bekal yang Ia hadiahkan dulu, untuk saya pergunakan sebagai pijakan saya berdiri. Menulis.

Maka, mulailah saya berteman dengan pena dan kertas. Tetapi saya merasa tulisan saya tidak tulus. Palsu. Karena saya menulis tanpa hati. Tanpa rasa. Karena masih ada ketakutan yang membatasi kebebasan hati dan pikiran saya berimajinasi. Lalu saya mengikuti pelatihan menulis dan menghadiri acara launching buku, saya berharap kebebasan mereka menuangkan segenap imajinasi tertular pada saya. Cara itu cukup berhasil, sedikit saya mulai mengenali hasil tulisan saya adalah saya. Tapi saya tetap masih belum mempunyai keberanian untuk merenda mimpi menjadi seorang penulis. Sampai saya membaca sebuah artikel  tentang Komunitas Ibu - Ibu Doyan Nulis ( IIDN ) di sebuah majalah keluarga. 

Di IIDN saya seperti menemukan rumah yang berisikan jiwa-jiwa yang bebas berekspresi dan berkarya dengan minat yang sama. Tanpa takut dicemooh, tanpa takut gagal. Dan semangat untuk bangkit dan mencoba lagi dari teman-teman di IIDN, menjadi pemantik dan pelecut bagi keberanian saya untuk bermimpi, untuk mulai menulis, berkarya dan merenda mimpi menjadi seorang penulis. Saya merasakan  juga suatu bentuk kekeluargaan yang saling mengayomi, memperhatikan dan saling membimbing. Dan saya bangga bisa menjadi bagian dari keluarga itu.

Apalagi setelah membaca buku besutan Indiscript Creative, si Agensi Naskah-nya, berjudul Puzzle Mimpi, yang dirangkai dan dironce kalimatnya oleh Anna Farida berisi kisah nyata perjalanan hidup seorang Indari Mastuti. Saat membacanya, saya seperti memasukkan puzzle-puzzle kehidupan saya sendiri dalam sebuah bidang datar. Walau berbeda alur, tetapi ada satu dua masalah hidup yang serupa dalam kehidupan saya yang dialami pendiri IIDN itu. Saya seperti dilecut untuk kali kedua dengan kalimat dalam buku tersebut, "Segala luka tidak akan membuatku bernanah. Segala penghinaan tidak akan membuatku menyerah. Segala fitnah tidak akan membuatku marah. Masa depan ada di tanganku sendiri, bukan mereka yang membuatku terluka, yang menghina, pun yang memfitnah. Semakin banyak rintangan, semakin cemerlang masa depan."

Dan alhamdulillah, saya mulai menapaki jalan kepenulisan. Dimuatnya sebuah cerpen di majalah remaja baru-baru ini menjadi titik start saya. Memang baru sebuah, tapi saya yakin, jika saya ulet, pantang menyerah dan terus bersabar, saya bisa menjadi seperti teman-teman di IIDN yang begitu produktif menelurkan karya-karyanya yang spektakuler. Bukankah seribu itu berawal dari sebuah? 

Saya juga memberanikan diri untuk menuangkan aspirasi dalam sebuah Blog. Masih sederhana dan belum sekeren teman-teman yang lain, karena saya kurang mahir juga dalam dunia maya. GAPTEK istilahnya. Tapi  dengan belajar, saya yakin bisa.

Di hari jadi IIDN ini, saya menghaturkan beribu terima kasih kepada teman-teman di IIDN, terutama Mba Indari Mastuti dan Mba Lygia Pecanduhujan, sang Markom geulis. Terima kasih untuk kesediaannya menjadikan saya bagian dari komunitas ini, terima kasih untuk kesediaannya meluangkan waktu, mencurahkan perhatian dan berbagi ilmu serta pengalaman dalam dunia kepenulisan. Semoga IIDN everlasting dan para perempuan, khususnya kaum ibu, bisa terus berkarya dan mewujudkan semua mimpi yang telah dirajut, lewat sebuah TULISAN.





Rabu, 29 Mei 2013

My Publish Story

Alhamdulillah ... setelah 17 tahun tidur panjang saya, akhirnya dimuat lagi sebuah karya berjudul Jerawat Cinta. Di Majalah Cerpen JoeFiksi, Vol. 3 edisi bulan April 2013. 

Jerawat Cinta bercerita tentang timbulnya suatu perasaan cinta karena sebuah jerawat. Jerawat? Ya, sebuah jerawat. Ide cerita ini saya dapat dari Almarhum Bapak saya tercinta. 

Mungkin sebetulnya Cerita Jerawat Cinta ini merupakan luapan kekesalan saya karena ulah Bapak yang selalu berkelakar mengenai wajah saya, "Itu muka apa parutan?"

Hehehe ... semasa remaja dulu, saya memang makhluk tomboy yang paling anti dandan dan merawat diri. Muka berminyak dan jerawat yang tumbuh subur menghiasi wajah, tidak sedikitpun menggores rasa percaya diri saya bahwa saya itu imut. Jadi, cuek bebeklah saya dengan atribut cewek, semacam pembersih, kapas, toner, pelembab dan teman-temannya.

Pertanyaan Bapak lainnya, "Gimana mau dilirik & disukain cowok, kalau mukanya ngga jelas gitu!" juga tak membuat saya melirik atribut perawatan. Malah saya bilang, "Kalau perasaan suka itu, mestinya ngga usah liat penampilan dong! Kalau emang tulus suka, ya terima apa adanya, ngga pake syarat!" yang kemudian saya dihadiahi jitakan mesra sama Bapak karena menjawab seperti itu.

Karena ngeyel, akhirnya Bapak menitahkan Mama untuk merawat wajah saya setiap harinya. Walhasil, setiap pulang sekolah, saya 'wajib' menyetorkan wajah untuk dibersihkan. Berangkat dari situ, saya bertekad  untuk membuat sebuah cerita tentang jerawat yang justru menjadi pencetus rasa suka dan cinta. Dan saya Berhasil! Berhasil! *efek berteman dengan Dora*

Tapi saya sempat tercenung. Andai saya bisa memperlihatkan majalah yang memuat cerita saya ini sewaktu Bapak masih hidup, mungkin kebahagiaannya akan terasa lebih bermakna. Hiks...Hiks...Hiks ...STOOP!!! Jangan kelamaan ... karena saya yakin Bapak melihat majalah ini dan tengah tersenyum bangga pada saya. Aah ... Bapak ... I miss you ... So much ...




Rabu, 22 Mei 2013

Mata Elang Mania

 "Hai, Ya! Tumben pagi-pagi udah dateng. Pasti lagi nyalin pe er ya," Suara Irma tak kuhiraukan. Aku tetap asyik menyalin. Karena aku yakin Irma pasti tahu kebiasaanku kalo pagi-pagi begini rajin. Merasa tak kuhiraukan, Irma langsung menutup buku milik Ayu yang ku salin. "Ufs ...," dongkol juga hatiku!
     Lima menit kemudian Irma mulai lagi mengicau. "Hei, Non! Rajin ya rajin. Tapi denger dulu, Irma punya kabar bagus nih." cerocos Irma lagi. Kumat.
     "Udah deh, Ir. Jangan suka ngeganggu! Lagian kabar apa sih, pagi-pagi begini?" tanyaku kesal.
     "Hei, dengar Ayaris Dwina, idolamu si Mata Elang Mania lagi ada di koperasi! Yuk kita kecengin!" Irma semangat empat lima kalo soal kecengin cowok. Ngga boleh lihat barang bagus dikit, pasti disabet!
     "Si Mata Elang, Addis maksud kamu? Anak fis satu?" sergapku.
     "Betul. Seratus buat kamu!"
     "Terus, mo diapain?" tanyaku enggan.
     "Hai, Ya." Irma mulai lagi duduk di depanku. "Mumpung masih sepi, kan belum ada yang ngecengin doi. Kita ajak dia kenalan, gimana? Ini kesempatan terbesar kita, Ya!" Irma tambah semangat, nafsu banget!
     Terus terang ketika nama Addis disebut-sebut Irma, aku sebenarnya ingin langsung aja menuruti ajakannya. Addis yang dimaksud Irma tak lain adalah, Addis yang punya mata tajam bagikan elang ( ceile ), kakak kelasku yang memang sangat beken di sekolahku. Hampir semua cewek nominasi di sekolahku pada ngincer dia. Aku menimbangnimbang ajakan Irma. Kubanyangkan senyum Addis si Mata Elang yang memang asyik banget tuk diliat.
     "Mau apa nggak, kamu? Kalo kamu nggak mau, biar aku ajak Anti aja." Irma tambah memanas-manasi dengan menyebut nama sainganku itu.
     "Okelah, Ir." kataku akhirnya. Aku beranjak dari tempat dudukku lalu langsung menguntit Irma ke ruang koperasi.
     Suasana di tempat koperasi masih senyap. Hanya terlihat Pak KOmar, penjaga koperasi dan dua orang siswa yang berada di situ, sedang menata barang-barang yang hendak dijual. Dan salah satu dari dua orang tersebut adalah Addis.
     "Tuh. . .," Irma menyenggolkan bahunya.
     "Kamu aja, Ir. yang pura-pura beli," kilahku.
     "Dasar penakut. Mana bisa kamu mendapatkan dia. Baru segitu aja udah jiper!" sungut Irma.
     "Eh, si eneng. Pagi-pagi udah ngerumpi. Rumpiin naon?" sapa Pak Komar yang udah akrab denganku dan Irma. Soalnya kita juga udah biasa bantuin beliau menjajakan dagangannya yang ada di koperasi.
    "Siapa yang ngerumpi? Ini nih, pak. Si Ayas mo beli kertas ulangan aja pake malu-malu. Biasanya juga ngambil sendiri, ya pak?" ujar Irma.
    "Idiih, Irma. Enak aja kalo nuduh! Bohong, pak! Orang Ayas cuma nganterin doang!" elakku.
     "Udahlah, sama aja. Ngga usah berantem," lerai Pak Komar. "Coba Dis, bantu neng-neng geulis ini," katanya pada Addis, yang cuma sneyum mengiyakan. Masih dengan senyumannya yang maut, ia melayani kami.
     "Mau apa?" tanyanya ramah.
     "Mau beli kertas ulangan," sahutku hampir bersamaan dengan Irma.
     "Berapa, Dik?" tanya Addis masih dengan senyum mautnya. Deg-deg-pyar, terasa ramai sekali jantungnya melihat senyum itu. Mungkin si Irma juga begitu. Mata teduh Addis memandang bergantian ke arah Irma dan aku.
     "Empat lembar aja, Kak," jawabku sambil menyodorkan uang kertasan.
     "Sepertinya saya pernah melihat Kakak, tapi di mana ya?"Irma mulai berbasa-basi memancing suasana. 
     Addis menyerahkan kertas ulangan kepadaku. "Di mana, hayo?" tanya Addis. 
     Wah, ternyata ramah juga orangnya. Kirain sombong, nggak tahunya. Emang kita nggak boleh liat orang dari luarnya aja!
     "Di kampus LIA, iya. Kak ... siapa namanya? Les di sana juga kan?" Irma mulai kumat gokilnya. Kalau nggak kuberi tahu, dia juga nggak tahu kalo Addis les Bahasa Inggris di tempat yang sama denganku.
     Karena merasa mendapat angin, Addis langsung menyodorkan tangannya. Masih dengan bibir tersenyum. "Addis. Kamu benar, saya memang kursus di sana. Tapi sepertinya saya nggak pernah ngeliat kamu," ujarnya pada Irma.
     Tanpa sungkan lagi Irma langsung nyerobot tangan Addis. "Nama saya Irma. Saya emang nggak kursus di sana. Tapi teman saya ini pernah melihat kakak, habis tempat kursusnya sama sih," tunjuk Irma padaku.
     "Oh, kamu!" Addis ganti menyodorkan tangannya ke arahku.
     "Aya."
     "Tingkat berapa di sana?" tanya Addis.
     "Intermedite two," jawabku. "Kakak?" Aku balik nanya.
     "Sama dong kalo begitu! Di IM 2 juga."
     "Kita juga diajak kenalan, dong!" Teman Addis yang sedari tadi asyik menata buku tulis menyahut.
    Selanjutnya kami berempat terlibat pembicaraan seru sambil sesekali tertawa ketika Irma dan Addis saling gojlok. Pembicaraan kami terhenti karena bel tanda masuk mengiang. Aku serta Irma langsung bergegas menuju kelas.
    "Kita berhasil, Ya!" teriak Irma sambil melompat kegirangan seperti anak kecil yang baru dibelikan mainan.



     Kulirik jam di pergelangan tanganku. 13.10. Itu berarti tinggal 10 menit lagi waktu mengejar absen. Kalau lewat, berarti kehadiranku tak diakui. Mana matahari semakin panas, mobil yang kutunggu belum ada satu pun yang lewat. Begini ini, dukanya kalo tempat kursus jauh dari rumah.

     Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depanku. Siapa ya? Nggak ada seorangpun di halte ini selain aku, tapi aku juga rasa-rasanya nggak punya teman or saudara yang punya ... Belum hilang rasa bingungku, muncul seraut wajah dari balik kaca, yang belakangan ini menghiasi mimpi-mimpiku.
     "Aya, ayo naik. Kamu udah telat, kan? Kita bareng-bareng aja. Saya juga mau kursus." Addis menawarkan bantuan.
     Sejenak aku ragu. Malu rasanya. Tapi, waktu udah mepet banget! AKhirnya kuputuskan untuk menerima kebaikannya. Di sepanjang perjalanan kami nggak banyak bicara, soalnya ngejar waktu, jadi Addis lebih banyak diam. Konsen nyetir.
     "Makasih Kak," kataku setelah sampai di tujuan.
     "Yo, sama-sama. Ruang berapa?" tanyanya.
     "307."
     "Kita selisih dua kelas. Addis di ruang 305. Yuk!"
     Kami berpisah karena ruangan Addis terletak di lantai dua, sedangkan aku di lantai tiga.
     Alhamdulillah. Akhirnya bel berbunyi juga. Udah mo merem aja nih mata. Ngantuk. Tumben ini kali Mr. Bowo ngajarnya bikin boring! Bergegas kuturuni tangga menuju pintu keluar. Ingin cepat-cepat saja rasanya pulang dan menikmati segelas air jeruk dingin yang segar. Alangkah kagetnya aku ketika lenganku dicekal oleh sebuah tangan yang kekar. Mau marah saja rasanya, kalo nggak tahu siapa orang yang melakukannya. Kalo bukan Addis yang melakukannya, aku pasti ngamuk berat. Tapi, karena Addis, aku nggak marah malah mao minta nambah rasanya, he...he..., dasar genit!
     "Buru-buru banget sih, Ya! Laper, ya?" lagi-lagi senyum mautnya keluar. Duh Mama, nggak ku-ku nih!
     "Tau aja," candaku.
     "Ya, ikut Addis yuk! Temenin. Kebetulan Addis lagi pengen makan donat. Kita ke Dunkin. Addis traktir, deh. Mau ya?" tanyanya penuh harap.
     "Mmh. Gimana, ya?" aku terdiam. Bingung. Rasa kantukku tiba-tiba aja hilang. Nggak tahu kemasukan jin mana, aku langsung mengangguk, mengiyakan ajakannya. "Wah, boleh juga tuh, Kak."
     "Good. Eh, iya. Panggilnya nggak usah pake embel-embel Kakak. Cukup Addis. Oke?"
     "Kenapa? Nggak suka dipanggil kakak?"
     "Nggak juga sih. Cuma risih aja. Kamu nggak keberatan kalo manggil Addis aja?"
     "Iya deh," kataku akhirnya. Mimpi apa ya aku semalam. Bisa diantar, diajak makan oleh seorang Addis yang beken bin keren. Wah, kalo Irma tahu, pasti dia bakal sirik berat!



     Sudah setengah jam kami duduk di sini, tapi belum juga ada yang membuka dan memulai pembicaraan. Sesekali mata kami saling bersirobok. Tapi kenapa aku terus yang langsung tertunduk malu saat menatap mata elangnya. Tak dapat melihat lama pada ketajaman mata elangnya. Tuhan, Kau ciptakan dia begitu gagah, dengan sepasang mata elang, alis tebal yang menaunginya. Rahang yang kokoh yang menunjukkan kepribadiannya yang keras. Tak banyak kata yang bisa terucapkan untuk menggambarkan seorang Addis.

     "Kamu ...," kata kami hampir bersamaan. Kami sama-sama tertawa karena kegugupan kami masing-masing.
     "Kamu duluan," ujarku.
     "Mmh. Oke." Addis terdiam sejenak. "Ya, boleh Addis ngomong sesuatu?" tanyanya.
     "Ngomong aja," sahutku kalem. Aku nggak mau mengira-ngira apa yang akan dikatakan Addis. Terlalu jauh jika aku berharap ia menyukaiku. Aku bukanlah cewek kebanyakan. Yang punya wajah cantik, pintar, dan kaya. Aku biasa-biasa aja. Mungkin karena aku supel sehingga aku bisa banyak teman. Yah, hanya itulah kelebihanku. Supel. Lain tidak.
     "Ingat waktu kita ketemu di koperasi sekolah? Kita ngobrol banyak waktu itu. Kamu tau, Ya. Sejak itu Addis nggak pernah bisa lupa tentang kamu. Ingat kamu terus. Senyum kamu, canda kamu, gaya bicara kamu, juga tatapan mata kamu yang lembut. Addis rasa, Addis suka kamu, Ya. Mmh, kamu jangan marah ya, Addis ngomong begitu. Addis cuma ngomong apa adanya. Apa yang Addis rasakan. Cuma itu." ucap Addis hati-hati sepertinya takut aku marah jika mendengarnya. Padahal dalam hatiku senang sekalee! Aku benar-benar nggak nyangka kalo Addis bisa suka sama aku.
     "Aya nggak marah kok, Dis. Makasih ya, kamu punya perhatian seperti itu buat Aya. Kalo Aya boleh ngomong, Aya rasa, Aya juga suka kamu," tuturku malu-malu.
     "Sungguh, Ya?" kulihat binar-binar cahaya cinta di sana.
     Kutatap mata elangnya untuk memastikan bahwa aku tidak main-main. Aneh, kali ini aku berani menentang ketajaman mata elangnya. Mungkin karena kini aku telah memilikinya. Mungkin juga karena aku menemukan kesungguhan rasa cinta di sana. Biarlah hanya aku dan Addis yang bisa tahu dan merasakannya melalui ketulusan yang terpancar dari sinar mata kami berdua.

@Anita Cemerlang,1996.

Jumat, 10 Mei 2013

Lomba OBOR

Lomba Menulis Cerita Pendek ~ Komunitas Pustaka OBOR



Lomba Menulis di Majalah UMMI 2013


KAMIS, 24 JANUARI 2013


Ummi, majalah keluarga Islami bacaan kita, kembali mengadakan Lomba Menulis!!!

Berhadiah Uang Tunai dan Berlangganan Majalah Ummi!!


Apa sajakah...???


1. Kategori: Senyum Simpul


Tulis pengalaman menarik yang membuat orang tersenyum simpul. 
Ketentuan: 1) Panjang tulisan 2.500 karakter
                2) Diterima Redaksi paling lambat 1 Maret 2013
                3) Pengumuman di edisi 4/XXV April 2013.

Setiap pemenang berhak mendapat piagam penghargaan, berlangganan Ummi 6 edisi, dan uang tunai Rp400.000 (pemenang I), Rp300.000 (pemenang II), Rp200.000 (pemenang III). 



2. Kategori: Tamu Kita

Tulisan/profil seputar tokoh perempuan Indonesia yang shalihah, inspiratif, dan memiliki sumbangsih besar bagi masyarakat. 
Ketentuan: 1) Usia profil 20-50 tahun, konsisten berbusana muslimah, dan kiprahnya sudah   
                    merambah/dirasakan manfaatnya minimal sampai tingkat kabupaten, 
               2)  Panjang tulisan 8.000 karakter, sertai foto profil, foto kegiatan, dan foto keluarga, 
               3)  Diterima Redaksi paling lambat 1 Juli 2013
               4)  Pengumuman di edisi 9/XXV September 2013.

Setiap pemenang berhak mendapat piagam penghargaan, berlangganan Ummi 6 edisi, dan uang tunai Rp1.000.000 (pemenang I), Rp900.000 (pemenang II), Rp800.000 (pemenang III). 



3. Kategori: Cerbung

Cerita bersambung  dengan tema bebas. 
Ketentuan: 1) Panjang cerita maksimal 50.000 karakter
                2) Diterima Redaksi paling lambat 30 September 2013
                3) Pengumuman di edisi 12/XXV Desember 2013. 

Setiap pemenang berhak mendapat piagam penghargaan, berlangganan Ummi 6 edisi, dan uang tunai Rp1.500.000  (pemenang I), Rp1.200.000 (pemenang II), Rp1.000.000 (pemenang III). 


Ketentuan Umum:
1. Tema tulisan atau cerita tidak melanggar hukum, etika dan SARA.
2. Naskah karya asli sendiri, belum pernah dipublikasikan dan tidak sedang diikutsertakan dalam lomba penulisan serupa.
3. Peserta boleh mengirim lebih dari satu naskah, amplop terpisah. Tempel kupon asli di kiri atas amplop.
4. Sertakan data diri lengkap, fotokopi KTP, nomor rekening, dan NPWP pada lembar terpisah.
5. Naskah dikirim ke e-mail: kru_ummi@yahoo.com, dan pos ke Redaksi Ummi, Jl Mede 42, Utan Kayu,  Jakarta Timur 13120.
6. Naskah menjadi hak Ummi, tidak dikembalikan. Naskah yang layak dapat dimuat dan memperoleh honor sebagaimana biasa.

Ayo buruan ikuutaaan....!!!


*sumber:majalah ummi*