From Diary adalah awal Menulis . Dear Diary, coretan kecil tentang kejadian sehari - hari yang dialami seorang winda saraswati. Buku kecil dengan cover lucu adalah teman setia bagi curahan hati yang tak seorang pun tahu kecuali winda dan Rabb-nya tentu.
Mengapa Menulis? mungkin karena winda lebih nyaman menjadi pendengar, sehingga mungkin lewat tulisan, maksud hati lebih jelas terungkap, mungkin saat itu kondisi lebih mengharuskan winda berbicara lewat tulisan. . . entahlah . . .
Sejujurnya, winda tak cukup yakin bahwa ia bisa menulis. Ia hanya tahu, ia senang membaca, mendengar musik dan berjalan di alam bebas. Hanya di suatu ketika, saat seorang teman curhat, tiba - tiba di kepala winda seperti datang serbuan huruf yang tertata rapi dan tersusun dalam barisan kata dan kalimat. Bingung bin heran tentu, tapi belum juga ngeh, kenapa dan harus bagaimana? sementara waktu biarin kepala pusing karna kalimat itu terus aja seliweran . . . au ah gelap dech!
Sampai suatu hari dapat tugas pelajaran Bahasa Indonesia, menulis sebuah cepen dengan tema bebas. Bolak - balik majalah cerpen Anita Cemerlang, belajar gimana bikin cerpen yang 'betul' . . . soalna ngga pede abis . . . Setelah berpusing - pusing ria, coret - coret, kremes - kremes kertas, akhirnya nyerah . . .
Saat setengah sadar, saat ter-lulubai dengan keletihan, tangan winda meraih sebuah pensil dan kertas, dengan nyawa yang melayang - layang, dikeluarkanlah kalimat yang terus mendengung dikepala dan ditorehkan di atas kertas putih dengan tulisan yang ngga bisa disebut huruf saking semaputnya. . .
Dan saat pagi menyapa, saat jiwa mulai genap, didapati berserakan kertas-kertas yang berisi coretan-coretan yang disebut tulisan ngga jelas, dibilang steno jauh banget. Dan dengan pede yang sangat minim, winda mulai memindahkan coretan tersebut ke dalam kertas dibantu mesin tik yang bunyinya tak-tok-tak-tok ( zaman itu belum ada komputer ). Dengan 10 jari mungil yang baru ditatar untuk bisa menulis cepat di mesin tik manual ( Thank's my second bro' yg bersabar menatar mengetik dgn 10 jari dan belajar memetik gitar), akhirnya coretan itu bisa selesai dalam satu hari berwujud ketikan walau banyak sisa penghapus kertas di antara tulisan tersebut.
Masih dengan tidak pede-nya, winda menyerahkan ketikan tersebut pada sang Guru Bahasa Indonesia. Dan seminggu kemudian, semua murid di kelas mendapatkan kembali naskah cerpennya beserta nilai. hanya winda yang tidak. Heran bin bingung binti sedih, jangan-jangan . . . naskahnya ngga bisa dibilang cerpen! Terlebih, sang guru berkata: "Winda, tolong temui saya di kantor saat jam istirahat!". "Guabrakk!" serasa jantung copot seketika. Dengan mupeng, winda mengangguk dan tersenyum.
Waktu berjalan sangat lambat hari itu. Debar2 aneh terus menggoda sampai waktu yang ditentukan. Dengan sahabat, winda melangkah ke kantor guru. Sampai di sana, sang guru bertanya:
"Cerpen ini kamu yang buat?"
"Iya pak."
"Bukan contekan?"
"Bukan."
"Kisah nyata?"
"Ya...tapi bukan kisah saya, pak. Kisahnya teman. Kenapa pak? Tulisan saya ngga pantas disebut cerpen ya, pak? Saya ngga dapat nilai dong, Pak?"
"Kamu mau dapat nilai?"
"Iya dong, Pak! Kata bapak, nilai ini masuk untuk rapor! Gimana sih, pak!"
Sang Guru hanya tersenyum. "Oke, kamu mau nilainya aja atau sama naskahnya?" katanya kemudian.
"Maksud bapak?"
"Saya kasih kamu nilai dan naskah ini tetap buat saya. Atau kamu mau nilai dan naskah ini dikembalikan ke kamu?"
"Ya, saya mau nilai dan naskah balik dong pak! Kenapa yang lain naskahnya dikembalikan, tapi saya ngga?! Bapak ngga adil banget sih!"
"Gini ya, win. Naskah cerpen kamu bagus! Kenapa kamu ngga coba kirim ke majalah? Anita Cemerlang, misalnya."
Winda bengong. Bagus? Kirim ke majalah? Mimpi ngga sih, nih?
"Bagus banget ya, pak? serius pak?" si sahabat ikutan bersuara. "Win! Winda!" usiknya.
"Winda!" tegur pak guru.
"Eh, iya pak," winda tergagap.
"Gimana? Mau dikirim ke majalah ngga? Kalau ngga mau, saya yang kirim. Tapi saya ganti nama penulisnya, jadi nama saya. Dan kalau dimuat, honornya juga pasti buat saya dong. Gimana?"
"Winda mau kok pak, kirim ke majalah! Iya kan, Win?! Tenang pak, saya sendiri yang antar winda ke redaksi majalahnya." si sahabat langsung menyela dan sambil tangan kanannya mengambil naskah di atas meja sementara tangan kirinya menyeret winda keluar dari ruangan guru.
"Wah...ngga nyangka deh, lo bisa nulis, win! Gue baca dulu ya!" si sahabat langsung membaca naskah tersebut. Sementara winda merasa dirinya masih di awang-awang.
Tak berapa lama, si sahabat berkata: : "Iya win, cerpen lo bagus! Kapan mau dikirimnya? Gue temenin!"
"Dikirim? Serius kalo naskah ini layak dinamain cerpen?" tanya winda masih ngga percaya.
"Iyalah! Si guru aja bilang begitu! Besok ya, pulang sekolah! Lo beli amplopnya dulu, tulis alamatnya! Ada ngga cerpen yang lainnya? Sekalian aja! Ngga usah lewat pos, langsung aja kita datengin redaksinya. Oke!"
Walhasil, esoknya winda dan sahabat melanglang ke kantor redaksi majalah Anita Cemerlang. Di sana, winda di terima dengan baik dan ramah. Mas Ganda Pekasih, nama redakturnya. Ia berjanji akan membaca dan mempelajari naskah cerpen tersebut. Juga akan memberi kabar apakah layak muat atau tidak.
Sebulan berlalu...winda tak lagi mengingat atau mungkin tak mau berharap. Karena ia masih me-agung-kan ketidakpede-annya dalam menulis cerpen. Sampai ia mendapat telepon, bahwa cerpennya layak muat dan akan dimuat dalam 3 edisi mendatang...berturut-turut! Winda melayang seketika. Dicubitnya pipi. What? Dimuat? Masa sih? Tapi...ini kan cepen yang betul-betul pertama kali dibuat! Alhamdulillah...Subhanallah...
Mungkin lebay mungkin terlalu...tapi jujur, perasaan melayang-layang saat pertama kali karya kita dimuat memang dashyat! Ngga bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan Winda merasa menjelma menjadi seorang ibu yang telah melahirkan seorang buah hati. Seketika terbersit keinginan untuk menjadi seorang penulis, bukan karena apapun. Tapi lebih untuk menyenangkan dan mengungkapkan rasa di hati. Karena buat Winda, hanya HATI yang tidak pernah berdusta. Jujur dan selalu apa adanya. Semoga.
@1996
Dan saat pagi menyapa, saat jiwa mulai genap, didapati berserakan kertas-kertas yang berisi coretan-coretan yang disebut tulisan ngga jelas, dibilang steno jauh banget. Dan dengan pede yang sangat minim, winda mulai memindahkan coretan tersebut ke dalam kertas dibantu mesin tik yang bunyinya tak-tok-tak-tok ( zaman itu belum ada komputer ). Dengan 10 jari mungil yang baru ditatar untuk bisa menulis cepat di mesin tik manual ( Thank's my second bro' yg bersabar menatar mengetik dgn 10 jari dan belajar memetik gitar), akhirnya coretan itu bisa selesai dalam satu hari berwujud ketikan walau banyak sisa penghapus kertas di antara tulisan tersebut.
Masih dengan tidak pede-nya, winda menyerahkan ketikan tersebut pada sang Guru Bahasa Indonesia. Dan seminggu kemudian, semua murid di kelas mendapatkan kembali naskah cerpennya beserta nilai. hanya winda yang tidak. Heran bin bingung binti sedih, jangan-jangan . . . naskahnya ngga bisa dibilang cerpen! Terlebih, sang guru berkata: "Winda, tolong temui saya di kantor saat jam istirahat!". "Guabrakk!" serasa jantung copot seketika. Dengan mupeng, winda mengangguk dan tersenyum.
Waktu berjalan sangat lambat hari itu. Debar2 aneh terus menggoda sampai waktu yang ditentukan. Dengan sahabat, winda melangkah ke kantor guru. Sampai di sana, sang guru bertanya:
"Cerpen ini kamu yang buat?"
"Iya pak."
"Bukan contekan?"
"Bukan."
"Kisah nyata?"
"Ya...tapi bukan kisah saya, pak. Kisahnya teman. Kenapa pak? Tulisan saya ngga pantas disebut cerpen ya, pak? Saya ngga dapat nilai dong, Pak?"
"Kamu mau dapat nilai?"
"Iya dong, Pak! Kata bapak, nilai ini masuk untuk rapor! Gimana sih, pak!"
Sang Guru hanya tersenyum. "Oke, kamu mau nilainya aja atau sama naskahnya?" katanya kemudian.
"Maksud bapak?"
"Saya kasih kamu nilai dan naskah ini tetap buat saya. Atau kamu mau nilai dan naskah ini dikembalikan ke kamu?"
"Ya, saya mau nilai dan naskah balik dong pak! Kenapa yang lain naskahnya dikembalikan, tapi saya ngga?! Bapak ngga adil banget sih!"
"Gini ya, win. Naskah cerpen kamu bagus! Kenapa kamu ngga coba kirim ke majalah? Anita Cemerlang, misalnya."
Winda bengong. Bagus? Kirim ke majalah? Mimpi ngga sih, nih?
"Bagus banget ya, pak? serius pak?" si sahabat ikutan bersuara. "Win! Winda!" usiknya.
"Winda!" tegur pak guru.
"Eh, iya pak," winda tergagap.
"Gimana? Mau dikirim ke majalah ngga? Kalau ngga mau, saya yang kirim. Tapi saya ganti nama penulisnya, jadi nama saya. Dan kalau dimuat, honornya juga pasti buat saya dong. Gimana?"
"Winda mau kok pak, kirim ke majalah! Iya kan, Win?! Tenang pak, saya sendiri yang antar winda ke redaksi majalahnya." si sahabat langsung menyela dan sambil tangan kanannya mengambil naskah di atas meja sementara tangan kirinya menyeret winda keluar dari ruangan guru.
"Wah...ngga nyangka deh, lo bisa nulis, win! Gue baca dulu ya!" si sahabat langsung membaca naskah tersebut. Sementara winda merasa dirinya masih di awang-awang.
Tak berapa lama, si sahabat berkata: : "Iya win, cerpen lo bagus! Kapan mau dikirimnya? Gue temenin!"
"Dikirim? Serius kalo naskah ini layak dinamain cerpen?" tanya winda masih ngga percaya.
"Iyalah! Si guru aja bilang begitu! Besok ya, pulang sekolah! Lo beli amplopnya dulu, tulis alamatnya! Ada ngga cerpen yang lainnya? Sekalian aja! Ngga usah lewat pos, langsung aja kita datengin redaksinya. Oke!"
Walhasil, esoknya winda dan sahabat melanglang ke kantor redaksi majalah Anita Cemerlang. Di sana, winda di terima dengan baik dan ramah. Mas Ganda Pekasih, nama redakturnya. Ia berjanji akan membaca dan mempelajari naskah cerpen tersebut. Juga akan memberi kabar apakah layak muat atau tidak.
Sebulan berlalu...winda tak lagi mengingat atau mungkin tak mau berharap. Karena ia masih me-agung-kan ketidakpede-annya dalam menulis cerpen. Sampai ia mendapat telepon, bahwa cerpennya layak muat dan akan dimuat dalam 3 edisi mendatang...berturut-turut! Winda melayang seketika. Dicubitnya pipi. What? Dimuat? Masa sih? Tapi...ini kan cepen yang betul-betul pertama kali dibuat! Alhamdulillah...Subhanallah...
Mungkin lebay mungkin terlalu...tapi jujur, perasaan melayang-layang saat pertama kali karya kita dimuat memang dashyat! Ngga bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan Winda merasa menjelma menjadi seorang ibu yang telah melahirkan seorang buah hati. Seketika terbersit keinginan untuk menjadi seorang penulis, bukan karena apapun. Tapi lebih untuk menyenangkan dan mengungkapkan rasa di hati. Karena buat Winda, hanya HATI yang tidak pernah berdusta. Jujur dan selalu apa adanya. Semoga.
@1996
Tidak ada komentar:
Posting Komentar