Headline News

Sabtu, 09 Maret 2013

Hikayat

      

     From Diary adalah awal Menulis .  Dear Diary, coretan kecil tentang kejadian sehari - hari yang dialami seorang winda saraswati. Buku kecil dengan cover lucu adalah teman setia bagi curahan hati yang tak seorang pun tahu kecuali winda dan Rabb-nya tentu.

     Mengapa Menulis? mungkin karena winda lebih nyaman menjadi pendengar, sehingga mungkin lewat tulisan, maksud hati lebih jelas terungkap, mungkin saat itu kondisi lebih mengharuskan winda berbicara lewat tulisan. . . entahlah . . .

     Sejujurnya, winda tak cukup yakin bahwa ia bisa menulis. Ia hanya tahu, ia senang membaca, mendengar musik dan berjalan di alam bebas. Hanya di suatu ketika, saat seorang teman curhat, tiba - tiba di kepala winda seperti datang  serbuan huruf yang tertata rapi dan tersusun dalam  barisan kata dan kalimat. Bingung bin heran tentu, tapi belum juga ngeh, kenapa dan harus bagaimana? sementara waktu biarin kepala pusing karna kalimat itu terus aja seliweran . . . au ah gelap dech!

     Sampai suatu hari dapat tugas pelajaran Bahasa Indonesia, menulis sebuah cepen dengan tema bebas. Bolak - balik majalah cerpen Anita Cemerlang, belajar gimana bikin cerpen yang 'betul' . . . soalna ngga pede abis . . . Setelah berpusing - pusing ria, coret - coret, kremes - kremes kertas, akhirnya nyerah . . . 

     Saat setengah sadar, saat ter-lulubai dengan keletihan, tangan winda meraih sebuah pensil dan kertas, dengan nyawa yang melayang - layang, dikeluarkanlah kalimat yang terus mendengung dikepala dan ditorehkan di atas kertas putih dengan tulisan yang ngga bisa disebut huruf saking semaputnya. . . 

     Dan saat pagi menyapa, saat jiwa mulai genap, didapati berserakan kertas-kertas yang berisi coretan-coretan yang disebut tulisan ngga jelas, dibilang steno jauh banget. Dan dengan pede yang sangat minim, winda mulai memindahkan coretan tersebut ke dalam kertas dibantu mesin tik yang bunyinya tak-tok-tak-tok ( zaman itu belum ada komputer ).  Dengan  10 jari mungil yang baru ditatar untuk  bisa  menulis  cepat  di  mesin  tik  manual    ( Thank's my second bro' yg bersabar menatar mengetik dgn 10 jari dan belajar memetik gitar), akhirnya coretan itu bisa selesai dalam satu hari berwujud ketikan walau banyak sisa penghapus kertas di antara tulisan tersebut.

     Masih dengan tidak pede-nya, winda menyerahkan ketikan tersebut pada sang Guru Bahasa Indonesia.  Dan seminggu kemudian,  semua murid di kelas mendapatkan kembali naskah cerpennya beserta nilai. hanya winda yang tidak. Heran bin bingung binti sedih, jangan-jangan . . . naskahnya ngga bisa dibilang cerpen! Terlebih, sang guru berkata: "Winda, tolong temui saya di kantor saat jam istirahat!".  "Guabrakk!" serasa jantung copot seketika. Dengan mupeng, winda mengangguk dan tersenyum.

     Waktu berjalan sangat lambat hari itu. Debar2 aneh terus menggoda sampai waktu yang ditentukan. Dengan sahabat, winda melangkah ke kantor guru. Sampai di sana, sang guru bertanya:

"Cerpen ini kamu yang buat?"

"Iya pak."

"Bukan contekan?"

"Bukan."

"Kisah nyata?"

"Ya...tapi bukan kisah saya, pak. Kisahnya teman. Kenapa pak? Tulisan saya ngga pantas disebut cerpen ya, pak? Saya ngga dapat nilai dong, Pak?"

"Kamu mau dapat nilai?"

"Iya dong, Pak! Kata bapak, nilai ini masuk untuk rapor! Gimana sih, pak!"

Sang Guru hanya tersenyum. "Oke, kamu mau nilainya aja atau sama naskahnya?" katanya kemudian.

"Maksud bapak?"